Menakar Upaya Desakralisasi Profesor

Wacana desakralisasi profesor atau guru besar yang digulirkan oleh rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, dalam artikelnya Desakralisasi Profesor di Kompas (25/7), menyusul viralnya surat edaran terkait peniadaan penulisan jabatan dan gelar profesor dalam dokumen di kampus yang ia tanda tangani pada beberapa hari sebelumnya, patut untuk diapresiasi dan didukung.

Dalam artikel itu, Fathul menjelaskan secara lebih gamblang dan utuh pada publik alasan di balik penerbitan surat edaran tersebut dengan tiga alasan yang substantif, yaitu menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah, dan mendesakralisasi jabatan profesor.

Tentu saja, alasan yang dikemukakan Fathul Wahid menjadi pelajaran dan teladan penting bagi kita semua sebagai bangsa, civitas akademik, dan kaum terpelajar. Artikel ini hanya sekadar ingin menyorongkan catatan kecil dalam rangka ikut mendiskusikan secara kritis ikhtiar baik yang telah dilakukan Fathul Wahid.

Kematian Profesor

Kita semua agaknya sepakat bahwa jabatan dan gelar profesor atau guru besar belakangan ini di Indonesia telah menjelma secara sempurna menjadi bentuk feodalisasi baru yang menciptakan hierarki yang tidak perlu. Dan, dalam batas-batas tertentu, merusak karena justru mengingkari prinsip ekualitas dan kesetaraan (atau kolegialitas dalam bahasa Fathul Wahid) dalam proses pencarian ilmu pengetahuan di dalam dunia kampus.

Dalam pencarian ilmu pengetahuan dibutuhkan sikap keterbukaan dan kerendah-hatian intelektual. Sikap-sikap tersebut hanya mungkin kalau kita semua mengandaikan diri setara dan ekual. Masalahnya, seringkali pada kenyataannya jabatan dan gelar profesor atau guru besar menjadi penghalang bagi sikap-sikap tersebut. Tidak sedikit tiba-tiba profesor yang tidak kebas dari kritik, dan menjadikan jubah profesor atau guru besarnya sebagai tameng kebenaran.

Apalagi kalau kita menyadari bahwa jabatan dan gelar profesor atau guru besar di Indonesia tidak selalu sejalan dengan kualitas dan kapasitas intelektual orang yang bersangkutan. Ini dapat terjadi karena praktik mengejar jabatan tertinggi dalam dunia akademik tersebut ditempuh bukan dengan perjuangan yang berdakik-dakik dan berdarah-darah, melainkan dengan cara-cara instan menghalalkan segala cara dan tidak etis. Julukan profesor atau guru besar abal-abal membuktikan itu.

Upaya desakralisasi profesor atau guru besar yang dilakukan oleh Fathul Wahid menjadi sangat relevan dan penting dalam konteks kehidupan di kampus saat ini di Indonesia. Desakralisasi profesor atau guru besar, seperti dikemukakan Fathul Wahid, diorientasikan untuk menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, ekualitas, dan kesetaraan. Di dalam kampus, terutama dalam pencarian ilmu pengetahuan dan kebenaran, semuanya sama-sama sejajar sebagai interlokutor, mitra yang seiring bukan digiring dalam berpikir dan belajar. Sehingga kampus menjadi salah satu ruang yang demokratis.

Saya ingat, Paulo Freire-sebagaimana diceritakan oleh Jane Vella, seorang pendidik dan teman Paulo (dalam Haase, 2014) – pernah mengatakan begini: Hanya mahasiswa yang dapat menyebutkan momen kematian profesornya yang dapat melakukan percakapan yang benar-benar kritis.

Freire bukan hanya mendesakralisasi profesor, tapi bahkan menegaskan perlunya “the death of professor” dalam relasi komunikasi dosen-mahasiswa/pelajar dewasa. Artinya, seorang dosen bisa saja bermaksud mengajak berdialog, tapi jika mahasiswa/pelajar dewasa masih saja melihat dosennya sebagai ‘profesor’, kemungkinan kecil tidak akan ada tantangan, pertanyaan kritis, dan perselisihan yang dialektis. Sehingga dialog menjadi tidak ada gunanya.

Bukan Problem Kultural

Yang menarik dipersoalkan, kalau memang salah satu alasan substantif dari upaya desakralisasi profesor atau guru besar itu dilakukan untuk menumbuhkan semangat kolegialitas, ekualitas, dan kesetaraan yang makin terkikis di kampus, saya rasa itu tidak cukup jika hanya diletakkan dan dilihat sebagai problem “kultural”. Lebih dari itu, secara mendasar harus dilihat sebagai problem “struktural” atau “material”.

Memang, Fathul Wahid sempat menyinggung neoliberalisme sebagai biang dari terkikisnya semangat kolegialitas di kampus. Tapi, sangat disayangkan sekali, Fathul Wahid tidak mengelaborasinya dengan cukup jernih dan tajam di bagian itu, malah di bagian akhir artikelnya ia menyebut sendiri upayanya sebagai “ikhtiar kultural”. Padahal, terkikisnya kolegialitas dan memudarnya citra kampus sebagai salah satu ruang yang demokratis, bisa jadi bukan problem kultural semata.

Meminjam analisis Nancy Fraser (1995), relasi kolegial, ekual, dan setara bukan hanya terjadi saat sejumlah subjek saling memberikan pengakuan secara timbal balik. Tapi, relasi yang ekual juga akan mengalami rintangan saat beberapa subjek mengalami kekurangan sumber ekonomi dan material. Oleh sebab itu, penting juga untuk mengurai problem-problem struktural dan material yang mendasar: UKT yang terlampau mahal, upah yang rendah bagi dosen dan karyawan, jaminan kebebasan akademik yang rendah bagi mahasiswa, dan bahkan lemahnya perlindungan kerja bagi dosen.

Itu semua membuat proses pencarian ilmu pengetahuan dan pengungkapan kebenaran di kampus belakangan ini tampak semakin terasa kian tegang, bahkan dipenuhi ketakutan, alih-alih diwarnai semangat kolegialitas, ekualitas, dan kesetaraan, serta demokratisasi di kampus. Misalnya, ada kecenderungan mahasiswa takut bersikap kritis -dan orangtua pun ikut-ikutan menyarankan anaknya tidak usah terlalu kritis di kampus- lantaran khawatir di-drop-out padahal sudah membayar mahal-mahal uang kuliah. Dosen-dosen juga dipenuhi rasa takut serupa karena upah yang rendah dan perlindungan kerja yang lemah.

Saya ingin menutup artikel ini dengan mengingat kembali sebuah kasus pada 2020. Di sebuah kampus di Yogyakarta, pimpinannya melakukan pemecatan semena-mena terhadap sejumlah dosen. Sayangnya, tidak ada yang berani bersuara untuk melawannya. Tentu saja, kebungkaman mereka itu tidak disebabkan karena di kampus tersebut rektornya tetap dipanggil profesor atau cukup dipanggil mas, pak, bung, atau sekadar nama saja. Kebungkaman itu lebih disebabkan karena problem-problem struktural dan material yang dimaksud di atas.

Tanpa mengurai problem-problem struktural dan material itu, kolegialitas, ekualitas, kesetaraan dan ruang demokrasi di kampus sebagaimana diharapkan, tidak akan pernah benar-benar terwujud dan terbangun menjadi kenyataan. Kita hanya akan terus menunduk-nunduk menjadi kacung. Padahal, intelektualisme tidak mendidik kita menjadi kacung. Inilah langkah-langkah radikal berikutnya yang perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh setelah melakukan desakralisasi profesor atau guru besar.

Kendati demikian, upaya desakralisasi profesor atau guru besar merupakan langkah awal yang berani dan sangat terpuji. Ini wake up call bagi semua civitas akademik, kaum terpelajar, dan pemangku kebijakan utama untuk menjadikan ini sebagai momentum melakukan refleksi dan perubahan yang lebih mendasar di perguruan tinggi.

Kamil Alfi Arifin
mengajar di Jurusan Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Scroll to Top