Jilbab, Negara, dan Kemerdekaan Indonesia

PEMAKSAAN melepas jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional 2024 oleh Badan Penanaman Ideologi Pancasila (BPIP) telah mencederai makna kemerdekaan.

Anggota Paskibraka Nasional bertugas merayakan kemerdekaan Indonesia, yang pada 17 Agustus mendatang sudah berusia 79 tahun, di ibu kota baru Nusantara, Kalimantan.

Namun, kemerdekaan mereka, terutama dalam hal ini berkeyakinan, justru dirampas oleh negara.

Hal tersebut menjadi preseden kurang baik bagi ibu kota baru yang dibangun dengan semangat untuk menghilangkan-meminjam istilah Presiden Jokowi belakangan ini: “bau-bau kolonial”.

Namun, perampasan terhadap kemerdekaan berkeyakinan bagi para warganya masih terus dilakukan dan dinormalisasi oleh negara.

Arogansi Negara

Kepala BPIP Yudian Wahyudi memang telah menepis di media bahwa tidak benar jika BPIP dikatakan melakukan pemaksaan melepas jilbab bagi anggota Paskibraka Nasional.

Menurut dia, pelepasan jilbab para anggota Paskibraka karena kebersediaan mereka sendiri untuk menaati peraturan.

Sebelum diseleksi, calon anggota Paskibraka, kata Yudian, sudah menandatangi surat pernyataan bermaterai terkait kesanggupan untuk melepaskan jilbab. Dan, itu hanya dilakukan saat mereka bertugas melakukan upacara kenegaraan semata.

Peraturan yang dimaksud Yudian adalah peraturan BPIP Nomor 3 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2022 tentang program Paskibraka yang mengatur tata cara pakaian, sikap dan tampang Paskibraka.

Dalam aturan tersebut, memang ada keharusan bagi anggota Paskibraka putri untuk tidak mengenakan jilbab.

Tentu saja, peraturan yang dirumuskan oleh BPIP sangat problematis karena menunjukkan kembalinya arogansi negara otoriter dengan orientasi sekuleristiknya yang naif dalam memarjinalkan ekspresi keagamaan tertentu di dalam ruang publik, sekaligus melakukan penundukan dan pendisiplinan terhadap tubuh perempuan atas nama menjaga keseragaman dan kesatuan-seperti pada masa awal dan paruh kedua Orde Baru.

Patut disayangkan, sampai saat ini, BPIP masih tampak mereproduksi cara pandang Orbaistik-sekuleristik yang serba penuh kecurigaan politis dalam memandang jilbab sebagai simbol ancaman dan keterbelakangan sekaligus.

Kini, sudah bermunculan banyak perempuan di Indonesia yang berjilbab, tapi berpendidikan, berprestasi, berpikiran maju dan terbuka seperti Siti Musdah Mulia, Neng Dara Affiah, Kalis Mardiasih dan lainnya.

Mestinya menggunakan jilbab atau melepas jilbab saat ini dipandang sebagai bagian paling intimasi dari pencarian, pengalaman religius, dan pertumbuhan sosio-psikologis keimanan seseorang (Juneman, 2010) yang tidak dapat dipaksakan oleh siapapun, termasuk oleh negara sekalipun.

Menggunakan dan melepas jilbab, harus dihormati karena bagian dari hak asasi dan kemerdekaan berkeyakinan setiap warga negara.

Sebetulnya bukan kali pertama BPIP di bawah kepemimpinan Yudian Wahyudi melakukan langkah-langkah kontoversial yang justru semakin memperburuk ketegangan relasi agama dan negara di Indonesia pasca-Orde Baru.

Di bawah kepemimpinan Yudian, BPIP membuat Islam tampak kembali menjadi musuh utama Pancasila. Penanaman dan pengarusutamaan ideologi Pancasila dilakukan dengan menjadikan Pancasila sebagai “alat gebuk” ideologis bagi pihak lain, yang dianggap tidak pancasilais.

Dalam konteks ini, seolah bagi BPIP, dengan memakai jilbab, anggota Paskibraka saat melakukan upacara kenegaraan dianggap tidak pancasilais.

Di bawah tafsir BPIP, Pancasila ditarik menjadi dasar negara ketuhanan Indonesia yang eksklusif dan diskriminatif. Hal itu justru tampak paradoks dengan semangat dan cita-cita ibu bapak pendiri bangsa yang menekankan kelapangan dan keleluasaan dalam bertuhan dan berkeyakinan.

Berketuhanan yang lapang dan leluasa

Ibu bapak pendiri bangsa Indonesia mendirikan Indonesia sebagai negara ketuhanan. Itu tercermin dalam Pancasila (sila pertama), yang bersama-sama disepakati oleh ibu bapak pendiri bangsa sebagai dasar negara (philosophische grondlag). Itu artinya, Indonesia tidak dibawa ke jalan teokrasi atau sekuler sepenuhnya.

Ketuhanan dalam sila pertama memang selama ini menimbulkan penafsiran yang polemis. Namun kita perlu kembali pada penafsiran penggali Pancasila, Sukarno, dalam pidatonya 1 Juni 1945.

Sukarno menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan, di mana semua warganya memiliki kebebasan setara untuk bertuhan sesuai dengan keyakinannya masing-masing secara lapang dan leluasa, penuh keadaban, dan saling menghormati.

Sukarno menyebut “bertuhan secara kebudayaan”.

Dalam konstitusi Indonesia, terutama setelah dilakukan amandemen pasca-Orde Baru, muatan perlindungan hak asasi manusia, termasuk dalam perlindungan terhadap kemerdekaan berkeyakinan (atau, bahkan tidak berkeyakinan sekalipun (Duile, 2018) begitu besar. Sesuatu yang sepenuhnya absen dalam periode Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, wacana hak asasi manusia dan kemerdekaan berkeyakinan dipinggirkan.

Kendati demikian, muatan perlindungan hak asasi manusia dan kemerdekaan berkeyakinan dalam konstitusi pascaamandemen pada masa pasca-Orde Baru tetap dibarengi batasan-batasan tertentu seperti pembatasan hak asasi untuk melindungi keselamatan masyarakat, melindungi ketertiban masyarakat, dan lain sebagainya.

Penggunaan jilbab bagi anggota Paskribaka merupakan ekspresi kemerdekaan berkeyakinan yang melekat sebagai hak dasar bagi setiap warga negara dan harus dihormati serta dilindungi oleh negara.

Penggunaan jilbab bagi anggota Paskribaka tidak melanggar hak-hak pergaulan dengan orang lain, tidak menganggu adab kesopanan, dan tertib keamanaan di dalam masyarakat, yang dapat menjadi alasan pembatasan hak asasi kemerdekaan berkeyakinan pada forum eksternumnya.

Dengan negara mendiskriminasi jilbab, selain merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanah konstitusi pascaamandemen, juga membawa Pancasila semakin jauh dari semangat kelapangan, keleluasaan dalam bertuhan dan berkeyakinan yang setara bagi warga negara sebagaimana ditegaskan penggali Pancasila itu sendiri.

Pertanyaanya kini, kemerdekaan semacam apa yang justru merampas kemerdekaan berkeyakinan para warganya sendiri?

Penulis
Kamil Alfi Arifin
Peneliti Mindset Institute dan Mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII)

Scroll to Top