Semarang, Indonesia – Di tengah kebutuhan mendesak akan keahlian di bidang kecerdasan buatan (AI), Indonesia patut berbangga dengan kehadiran Dr. Jonathan Kwik, seorang ahli hukum internasional AI yang baru saja meraih gelar doktor cum laude dari Universitas Amsterdam (UvA), Belanda. Kelulusannya bukan hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga angin segar bagi perkembangan AI dan hukum internasional di Indonesia.
Dari Semarang ke Amsterdam: Perjalanan Sang Pakar AI
Lahir di Semarang pada 19 Maret 1993, Jonathan Kwik telah menorehkan prestasi gemilang di kancah internasional. Disertasinya yang mendalam membahas aspek hukum kecerdasan buatan dalam konteks senjata otonom. Kwik berhasil mempertahankan disertasinya pada 14 Februari 2024, dan pencapaian ini mendapatkan sorotan yang signifikan di media Belanda, termasuk surat kabar terkemuka Het Parool.
Dalam artikel yang diterbitkan Het Parool, Kwik menekankan pentingnya pengendalian oleh komandan dalam pengelolaan sistem senjata otonom. Tujuannya adalah untuk meminimalisir risiko penyimpangan. Ia juga mengkritik polemik seputar senjata otonom yang seringkali terlalu sensasionalis. Kwik mengajak untuk mengalihkan fokus perbincangan ke masalah yang lebih konkret, seperti kecenderungan AI untuk berhalusinasi, sifat ‘black box’ AI, dan prediksi perilaku AI di medan perang.
“Menjelang ujian terbuka saya tanggal 14 Februari kemarin, topik disertasi saya menjadi cukup ramai dibicarakan di kalangan akademisi dan sempat diliput oleh berbagai media di Belanda,” ujar Kwik. “Antara lain, berita tentang ujian terbuka saya disebut di koran Het Parool, salah satu koran terkemuka di Belanda.”
Lulus Cum Laude: Sebuah Pencapaian Langka
Meraih predikat cum laude di Belanda bukanlah hal yang mudah. Hanya sekitar tiga persen dari seluruh lulusan yang berhasil meraih predikat ini. Prosesnya pun sangat ketat dan melibatkan serangkaian penilaian yang komprehensif.
- Kesepakatan Pembimbing: Ketiga pembimbing harus sepakat bahwa disertasi tersebut layak mendapatkan predikat cum laude.
- Dukungan Penguji: Kelima penguji harus sepenuhnya mendukung usulan dari pembimbing.
- Penilai Eksternal: Dua penilai eksternal ditunjuk untuk memberikan penilaian dan harus memberikan dukungan penuh terhadap pemberian predikat ini.
- Voting: Dilakukan voting berdasarkan kualitas disertasi dan kualitas ujian. Jika ada lebih dari satu suara negatif, predikat cum laude tidak akan diberikan.
“Dengan demikian, UvA memastikan bahwa cum laude hanya diberikan untuk disertasi yang benar-benar pantas mendapatkannya,” jelas Kwik.
Kontribusi untuk Indonesia: Mengisi Kekosongan Keahlian AI
Setelah menyelesaikan kontrak kerjanya di TMC Asser Institute, Den Haag, Belanda, Jonathan Kwik berencana untuk kembali ke Indonesia. Ia melihat bahwa keahliannya sangat dibutuhkan di tanah air, terutama karena Indonesia masih kekurangan staf ahli yang benar-benar memahami teknologi AI untuk sistem alutsista.
Kwik berharap dapat berkontribusi dalam meningkatkan keterlibatan Indonesia dalam diskusi dan forum internasional terkait AI. Ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam mengenai keuntungan dan risiko penggunaan senjata yang mengandung unsur AI, serta memastikan bahwa senjata-senjata yang dibeli dan digunakan memenuhi standar hukum humaniter.
“Kita perlu tingkatkan engagement kita di tingkat internasional biar ndak tertinggal saat masyarakat internasional merancang perjanjian baru, traktat mengenai teknologi ini,” tegas Kwik. “Juga penting untuk melindungi kepentingan nasional kita saat perjanjian-perjanjian internasional dibentuk.”
Dengan kembalinya Dr. Jonathan Kwik, Indonesia memiliki harapan baru untuk mengembangkan keahlian di bidang AI dan hukum internasional, serta meningkatkan peran aktifnya dalam forum-forum internasional.